Rabu, 14 April 2010

METODE TAQRIIB



Tarqiib (melakukan pendekatan) disini dimaksudkan bila diantara pihak yang berkepentingan ada jarak atau bila diantara pihak yang berkepentingan ada jarak atau rintangan yang menjauhkan hubungan keduanya, sehingga diantara keduanya tidak bisa terjalin harmonisasi. Untuk itu diperlukan pendekatan sebagai upaya menghilangkan terpisahnya kedua belah pihak.
Allah berfirman QS Saba ayat 37

Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).
Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa orang-orang musyrik dan kafir menggunakan kekayaan hidup didunia ini sebagai bukti bahwa mereka adalah orang-orang yang berhasil mendekatkan diri kepada Allah, sehingga hidup mereka sejahtera. Tolak ukur yang mereka gunakan adalah adanya kekayaan dan banyaknya anak yang mereka miliki. Setiap kali harta mereka bertambah, mereka beranggapan bahwa cara-cara yang mereka pergunakan selama ini dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah benar, sedangkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah yang ternyata bertentangan dengan anggapan mereka adalah keliru.
Allah Juga berfirman dalam QS Az-Zumar ayat 3 Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
Ayat diatas menerangkan bahwa orang-orang musyrik yang menyembah patung sebenarnya tidak bermaksud menyebah patung sebenarnya tidak bermaksud menyembah patung itu sendiri, tetapi mengganggap patung-patung tersebut hanya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Metode yang digunakan dalam kedua pandangan di atas sama, yaitu taqriib. Mereka, baik secara langsung ataupun dengan perantara, berusaha mendekati obyek begitu rupa guna mencapai tujuan mereka. Golongan pertama yang tersebut di dalam surat Saba' di atas menggunakan metode pendekatan kepada Allah melalui kekayaan yang dimiliki. Kekayaan yang mereka miliki tidak untuk didermakan atau diinfakkan kepada yang berhak, tetapi sematamata dijadikan sebagai alat kebanggaan untuk membuktikan bahwa diri mereka itu berhasil menjadi hamba yang dekat dengan Allah. Dalam berhubungan dengan Allah, orang musyrik menggunakan patung atau berhala sebagai perantara mendekatkan mereka kepada Allah. Ini juga disebut menggunakan metode taqriib. Jadi, orang-orang musyrik tidak secara langsung mau berhubungan dengan Allah, tetapi menggu¬nakan pihak ketiga, sebab mereka merasa bahwa dirinya tidak patut langsung berhubungan dengan Allah. Wahupun kedua hal di atas menuliki pola yang berbeda, tetapi yang digunakan sama.
Dari dua pola yang berbeda di atas, dapat ditarik benang mcrah bahwa inti dari pclaksanaan metode taqriib ialah melakukan pendekatan kepada pihak lain, baik secara langsung ataupun melalui pihak ketiga, dengan tujuan mendapatkan kebaikan bagi dirinya dalam berhubungan dengan pihak kedua.
Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya terjadi perselisih-an antara seseorang dengan orang lain sehingga mengakibatkan kedua belah pihak bermusuhan atau menjauhkan diri. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan usaha pendekatan dengan jalan menyingkirkan hal-hal yang setnula meretakkan hubungan mereka.




Read more...

METODE TAFHIIM



Tafhim adalah memberikan pengertian tentang suatu masalah dengan merumuskan suatu objek secara utuh, baik benda, keadaan, persoalan atau kasus.
Allah berfirman di dalam Qs Al-Anbiya ayat 78




maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kami lah yang melakukannya.
Pada suatu hari, ada kasus yang diajukan kepada Nabi Dawud dan Sulaiman. kasus ini yang diajukan oleh pemilik domba dan pemilik kebun.Pemilik kebun mengadu bahwa tanamannya diusak oleh domba-domba milik lawannya. Pemilik kebun menuntut gaji rugi kepada pemilik domba atas tanamannya yang telah dirusak tersebut
Menurut Nabi Dawud, pemecahan masalahanya ialah pemilik kambing menyerahkan kambingnya kepada pemilik kebun sebagai ganti dari tanaman-tanaman yang telah dirusak oleh kambing tersebut.
Sedangkan Nabi sulaiman memutuskan bahwa pemilik kambing harus merehabilitasi tanaman pemilik kebun; dan selama tanaman itu belum berubah, kambingnya diserahkan kepada pemilik kebun untuk dimanfaatkan susunya dan pemilik kebun berbuah seperti semula.
Dari ayat diatas kita mendapat pelajaran tentang metode tafhim. Metode tafhim tentunya berbeda dengan metode ta’lim, tafsil maupun tabyin. Metode tafhim memberikan pengertian tentang suatu masalah dengan merumuskan suatu objek secara utuh.
Metode tafhim ini tepat untuk digunakan oleh orang tua dalam upaya mendidik anak-anaknya agar mereka dapat mengatasi permasalahan sehari-hari secara adil dan benar. Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan metode tafhim dapat dilakukan seperti dalam dalam contoh berikut ini:
Anak datang mengadu kepada orang tua bahwa gurunya disekolah telah memarahinya dan menghukumnya dengan menyuruhnya membersihkan kelas. Ketika orang orang tua mendengarkan laporan anaknya, kemungkinan sekali menanggapinya secara emosional dan cenderung menyalahkan tindakan guru. Orang tua muslim dan mukmin tidaklah dibenarkan menangani permasalahan anaknya semacam itu diluar adab dan norma Islam. Langkah yang benar ialah orang tua meminta kepada anaknya untuk menjelaskan rangkaian kejadiannya sejauh dapat diberikan oleh anaknya. Cara ini perlu ditempuh oleh orang tua agar mendapatkan gambaran permasalahnnya dari pihak anak. Sesudah itu orang tua dapat meminta kejelasan lebih jauh dari teman-teman anaknya untuk memperoleh gambaran untuk permasalahan. Berikutnya, orang tua datang kepada guru anaknya untuk menginformasikan kasus yang dialami oleh anaknya. Dengan metode ini, orang tua dapat mendudukkan persoalan padas tempatnya dan menyelesaikan atau memutuskan perkaranya secara adil. Dari contoh diatas diperoleh gambaran bahwa untuk menyelesaikan suatu kasus, orang harus memiliki pengetahuan yang utuh tentang objek yang dipersoalkan. Tanpa memiliki pengetahuan yang utuh tentang objek yang dipersoalkan. Tanpa memiliki pengetahuan yang utuh, tentu akan terjadi kesalahan dalam penyelesaian dan ini akan menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan. Karena itu, langkah pertama yang harus diambil oleh orang yang hendak menyelesaikan masalahnya ialah upaya untuk memahami dengan benar permasalahannya.

Metode Tafhim dapat kita pergunakan dalam menyelesaikan kasus sengketa atau perselisihan antara sesama anak kita sendiri atau dengan orang lain guna menegakan keadilan dan kebenaran. Pemecahan masalah dengan metode tafhim dapat menanamkan semangat cinta keadilan, kebenaran dan kejujuran pada diri anak kita.dengan semangat dan jiwa semacam ini, kita telah mndidik anak-anak kita menjadi orang-orang shaleh.
Read more...

Selasa, 13 April 2010

Kesederhanaan


Islam dengan ajarannya, menempuh cara praktis dalam mendidik dan melatih umatnya agar memelihara keseimbangan dalam sistemnya itu, dan berusaha mengendalikan naluri mementingkan diri sendiri serta menyelaraskan kebudayaan spiritual dan ekonomi melalui pendidikan moral. Penekanan tersebut dititikberatkan pada perbaikan moral dan pembinaan sikap moral yang benar dalam kehidupan bersama antar sesama umat, sehingga kejahatan dan keserakahan dalam pikiran mereka bukan hanya dapat ditekan melainkan dapat disalurkan untuk mencapai tingkat keluhuran rohani serta sukses di bidang materi. Disamping itu Islam juga mengendalikan hawa nafsu yang berlebihan dan ambisi-ambisi syaitani yang terdapat dalam masyarakat. Dari kesemuanya itu Islam mengandalkan pada pendidikan (Allah bagi) umatnya dan pengendalian (sistem) ekstemal yang dilakukan secara hati-hati sepanjang benar-benar diperlukan untuk memelihara sistem Sosial Islam.

Dalam kontek kekinian yang mesti di persiapkan adalah
1. Penyucian Jiwa
Hal ini merupakan cara lain untuk mengembangkan kepribadian dan pembinaan sikap individu dalam masyarakat. Allah berfirman dalam surat Asy-Syam ayat 9-10 yang artinya sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Kata Zakkaha dalam ayat ini dapat diartikan bahwa Allahlah yang membuat tumbuh, meningkat atau berkembang. Dan kata Dassaha dapat diartikan sebaliknya yaitu Dialah yang menyembunyikan dan menutupinya.
Dalam kaitannya pemurnian jiwa tidak berarti penyimpangan jalur kesederhanaan melainkan hanya menggambarkan sikap orang islam terhadap harta.
2. Budaya Mandiri
Akar dari masalah ketidak adilan salah satunya adalah rasa iri yang berkembang dari keserakahan pikiran manusia. Allah berfirman dalam surat At-Taghabun ayat 16 yang artinya Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Merupakan kenyataan banyak diantara kebutuhan manusia sering tidak realistis dan dibuat-buat, hal tersebut dapat diminimalisir dengan pendidikan moral. Jika kebutuhan ekonomi manusia dapat dikurangi dan dibatasi kepada hal-hal yang realistis, maka tentunya perasaan takut miskin dapat terhapus dari pikirannya.
Perasaan takut miskin dalam manusia terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 268 yang artinya Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
3. Ajaran memberi infak
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 219 yang artinya Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "…… Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir,
Nabi Saw sangat menekankan penggunaan kekayaan pribadi ini dan menegur mereka yang tidak membantu anggota masyarakat miskin . diceritakan Nabi saw mengatakan bahwa orang yang telah mengusir pengemis lapar dari depan pintunya akan di Tanya pada Yaumul Hisab.
Didalam Al-Fajr ayat 17-18 Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,
Di sini Allah memperingatkan orang kaya, yang mengabaikan anak yatim dan orang miskin, dan bahwa ketidak adilan akan mendatangkan murka Allah bagi mereka. Allah juga mencegah orang Islam yang melakukan shalat lima waktu tetapi tidak membantu orang miskin
4. Pinjaman Tanpa Bunga
Islam mengutuk bunga, tetapi sekaligus membina keadaan (masyarakat) yang memungkinkan tersedianya pinjaman bebas bunga bagi orang yang melakukannya.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 280 Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

by. Rasyid Ridlo
12 Maret 2010/25 Rabi’ul Awwal 1431 H
Edisi 228 Tahun V


Read more...

Keadilan


Manusia diperingatkan Al-Quran supaya bekerja keras untuk memperoleh harta akan tetapi hanya cara yang bijaksana dan jujur dalam memperolehnya yang diakui dan diizinkan. Al-quran memperbolehkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan jujur, sederajat dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak dan tidak membenarkan cara-cara yang hanya menguntungkan seseorang, lebih-lebih yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain atau keuntungan yang diperoleh ternyata merugikan kepentingan umum.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 29 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Pembaca yang budiman!
Ayat diatas melarang cara mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak adil dan memperingatkan akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang tidak adil. Sedikit demi sedikit penggunaan cara yang tidak adil pasti akan tersebar ke seluruh masyarakat dan setiap orang akan melakukan cara-cara yang tidak adil pula dalam mencari harta. Keadaan semacam ini akan menyebabkan kebencian, permusuhan, penipuan, keridakjujuran , kekerasan dan saling menindas antar masyarakat dan merusak solidaritas.
Salah satu sebab kehancuran bangsa yahudi mendapatkan kekayaan orang lain dengan cara yang tidak adil. Ini menunjukan bahwa mendapatkan harta dengan jalan yang salah adalah dosa besar karena perbuatan ini akan mengakibatkan kehahatan dalam masyarakat, mengganggu keseimbangan perekonomia dan secara bertahap menghancurkannya.
Istilah di lingkungan kita ada ungkapan “boro-boro yang halal yang haram juga zaman sekarangmah susah”. Rasululah mengibaratkan komunitas Muslim seperti tubuh, maka jika sebagian komunitas melakukan ketidakadilah dalam kamus ekonomi disebut dengan tidak ada pemerataan ekonomi maka seperti tubuh yang tangannya yang satu besar yang satu kecil. Kita lihat Alquran Surat Al-Maidah 100 yang artinya Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
Al quran menginformasikan bahwa harta yang diperoleh dengan cara yang halal adalah lebih baik daripada yang diperoleh cara yang haram, meskipun jumlahnya dengan harta yang haram itu mungkin berlipat ganda. Ketidakpahaman yang paling dominan adalah selalu melihat kuantitas bukan kwalitas , dibingungkan oleh jumlah, hatinya dipengaruhi oleh apa yang dilihat disekitarnya.
Dalam surat yang diatas terdapat kiasan bagi orang yang bijaksana agar berpuas hati dengan pendapatan yang bersih dan halal yang berhak ia peroleh meskipun jumlahnya sedikit, daripada mendapat yang banyak tapi tidak halal. Ayat Al Qur'an yang menyatakan, "Kamu akan mendapat untung", memberikan fakta bahwa jika seseorang menghendaki kebaikan bagi dirinya dan masyarakat, maka hendaknya mendapatkan harta kekayaan hanya dengan cara yang benar. Keberhasilan dan kemakmuran yang berlangsung langgeng terletak pada keadilan dan persamaan bagi semua warganya sehingga tidak seorangpun dapat melakukan kesalahan dalam produksi. Al Qur'an menjamin kemakmuran masyarakat yang semacam ini yaitu yang melaksanakan kejujuran dan cara-cara yang halal dalam memperoleh harta dan tidak tertipu oleh kekayaan yang melimpah.
Prinsip ini dinyatakan dalam firman Allah dalam surat fushilat ayat 30 yang artinya Kami lah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Orang yang mencapai kehidupan bahaga dan makmur yang berlangsung lama di dunia dan akhirat, adalah mereka yang menjalani kehidupan dengan semestinya dan tabah berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan.
Judi, Lotre, dan bentuk spekulasi sepintas seperti sebuah kerjasama tetapi sesungguhnya hal ini merugikan orang lain yang lemah posisinya.
Wallahu alam.

by. Rasyid Ridlo
alqalam edisi 229 19 maret 2010

Read more...

Neo Sufisme


Terminology Neo Sufisme pertama kali dimunculkan sepanjang saya ketahui oleh fazlur Rahman dalam bukunya “Islam”. Kemunculan istilah itu tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi justru memancing polemic dan diskusi yang luas. Sebelum Fazlur, sebetulnya di Indonesia Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya “Tasawuf Modern”, tetapi dalam buku itu tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan ini buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali. Kecuali dalam hal uzlah. Kalau Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.


Menurut Fazlul Rahman selaku penggagas istilah ini, neo Sufisme adalaha “Reformed Sufism”, sufisme yang telah diperbaharui. Sufisme terdahulu kelihatannya cenderung tertutup terhadap perkembangan pemikiran luaran, sehingga pengertian uzlah itu bukan saja dalam arti lahiriah tetapi juga dalam pendapat beragam. Neo sufisme kelihatannya sangat mendukung keanekaragaman pemahaman keagamaan dan hidup dalam pluraritas masyarakat manusia. Artinya, bahwa neo sufisme berupaya untuk menampung berbagai paham yang berkembang, baik yang bersifat hukum ataupun fikh, aspek teologis maupun aspek sufisme untuk kemudian dikristalisasikan. Cara pandang dan gaya hidup yang demikian dituangkan dalam semacam dokrin yang disebut “Ruhaniah al-Ijtimaiyah” atau spiritual sosial, Istilah yang berasal dari judul buku karangan Dr Said Ramadlan.
Didalam buku itu Ruhaniah al-Ijtimaiyah memaparkan prinsip-prinsip berikut: jika orang dengan tulus mengahadapi dirinya sendiri, kemudian memenuhi hak jasmani serta hak ruhaninya, maka ia telah berbuat adil kepada kemanusiaannya sesuai dengan sunnatullah, dan akan hidup damai di dunia dan akhirat nanti. Jika cenderung hanya kepada salah satu dari kedua jurusan sambil berpaling dari yang lain, maka ia telah berbuat dzalim kepada dirinya dan mengadapkan dirinya itu menentang sunnatullah. Maka orang yang hidup zaman sekarang yang hanya mementingkan harta dan berlom untuk sepotong roti, tenggelam dalam urusan badani, sibuk dengan kehormatan kosong dan kemegahan palsu menyianyiakan akal dan kalbunya untuk menikmati muspro itu, dia adalah oran yang terkecoh dari hakikat dirinya, terdinding dari inti hidup. Sedangkan orang yang mengarahkan dirinya hanya untuk memenuhi tuntutan ruhaninya, lalu menggunakan waktu siangnya untuk puasa dan malamnya untuk qiyamul lail, sepanjang umurnya untuk merenung semata sambil mengingkari hal-hal yang baik dari hidup duniawi, lalu tidak berpakaian kecuali dengan bahan yang kasar, tidak makan kecuali dengan makanan yang kering dengan tujuan agar daya hidup lahiriahnya menjadi lemah dan potensi ruhaniahnya menjadi kuat, dia adalah juga orang yang bodoh tentang hahikat hidup, lalai akan sunnatullah, menyia-nyiakan badan sendiri atau menyia-nyiakan salah satu dari dua segi hidupnya. Cukup hal itu baginya sebagai kerugian dan pengingkaran terhadap perintah Allah.
Neo sufisme secara singkat dapat dikatakan sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai islam uang utuh (Kaffah), yakni kehidupan yang berkesinambungan (Tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segi ekspresi kemanusiaan, dengan alas an ini pula dapat dikatakan, bahwa yang disebut neo sufisme itu tidak seluruhnya barang baru, namun lebih tepatnya dikatakan sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai kondisi kekinian.
Neo sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengalamannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja, tetapi seimbang.
Setiap muslim harus mengakui dan menyadari betapa pentingnya spiritual dalam Islam, tetapi juga harus diingat bahwa al-quran menyatakan dunia ini adalah riel bukan fatamorgana, bukan pula maya tanpa makna. Dari banyaknya ayat Al-Quran yang beriringan antara Iman-amal shaleh dan hari akhir, merupakan isarat yang tegas yang menunjukan formulasi kesatuan dimensi spiritual dan dimensi aktivitas nyata dalam kehidupan.

Untuk keberhasilan gagasan neo sufisme kelihatannya harus diikuti dengan peletakan formulasi ajaran dan sistem pembinaan menuju sufi yang jelas dan terarah. Sufisme terdahulu digemari banyak orang, adalah karena kejelasan nilai dan sistem yang ditawarkan, sehingga orang dengan mudah dapat meyakininya sebagai pilihan terbaik.

Wallahu alam bi shawab

by. Rasyid Ridlo
alqalam edisi 230 26 maret 2010

Read more...

Nasikh Mansukh


Alquran merupakan Hudallilmutaqin petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Didalamnya bukan hanya masalah Ibadah saja, tetapi mengatur masalah diantaranya seperti masalah muamalat (hubungan antar manusia) dalam berbagai kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu ada perintah, larangan, anjuran dan lain-lain. Ketika kita usia enam tahun kita dilarang main api karena berbahaya, namun ketika kita sudah berumur tujuh belas tahun, dianjurkan kita untuk berekperimen dengan api dalam sebuah labolatotium. Dalam hal ini sebuah larangan dan anjuran merupakan sebuah terminologi pendidikan didalam sebuah kehidupan.
Salah satu contoh al-Quran sebagai petunjuk, bagaimana tatacara menghadap ketika sholat, dalam Surat Al-Baqoroh Ayat 115 yang artinya. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.


Disisi lain kita membaca ayat yang selanjutnya ayat 144 yang artinya ... berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Dalam mensikapi dua ayat yang berbeda kita mesti menggunakan beberapa pendekatan misalnya unsur bahasa, system, dan teori interprestasi hukum. Adalagi yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur sejarah yang melatar belakangi terbentuknya suatu undang-undang. Itu yang dikenal dengan dengan sebutan interprestasi historis yang disebut dengan asbab al-nuzul.

Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dalam bukunya Manna khalil al-Qattan (1998) dikemukakan bahwa Naskh artinya menghilangkan/Izalah.
Kata naskh juga digunakan untuk makna memindahkan sesuatu ke tempat ke tempat lain. Misalnya , saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku.

Menurut istilah, yaitu; mengangkat (Menghapuskan) hukum syara dengan dalil hukum (Khitab) syara yang lain. Dengan perkataan hukum, maka tidak termasuk dalam pengertian naskh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (Al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan Khitab syara” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma atau qiyas.
Kata Nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan “Allah” seperti terlihat dalam (al-Baqoroh 2:106) dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris, atau hukum yang terkandung didalamnya, misalnya menghapuskan (naskh) hukum wasiat kepada orang tua atau kerabatnya (mansukh).
Ulama Mutaqodimin memberikan batasan pengertian naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian. Jadi tidak hanya bagi ketentuan (hukum) yang mencabut atau membatalkan ketentuan (hukum) yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan yang pertama yang dinyatakan berakhir masa berlakunya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus. Pengertian nasikh, menurut kelompok ini, mencakup pengertian pembatasan (qayd) terhadap pengertian bebas (muthlaq), pengertian penghususan (mukhosis) terhadap pengertian umum (amm), pengecualiaan (istisna), syarat dan sifat.
Sedangkan menurut ulama Muta’akhirin mempersempit batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan nasikh dengan mukhosis, muqoyid dan sebagainya. Dengan demikian, pengertian Nasikh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu. Sehingga ketentuan yang berlaku kini ialah ketentuan yang ditetapkan belakangan, menggantikan ketentuan terdahulu.

Pendapat-pendapat tentang Nasakh
1. Orang yahudi. Mereka tidak mengakui adanya nasakh. Karena menurutnya, nasakh menurutnya, nasakh mengandung konsep al-bada (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah. Nasakh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan inipun mustahil pula bagi-Nya.
2. Pendapat Ibnu Katsir dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-keketapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukan kemustahilan adanya Naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hokum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkan-Nya. 3. Abu Muslim al-Asfahani . Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Quran berdasarkan firman Allah-Nya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” : [41.42], dengan pengertian bahwa hukum-hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya ditakhsiskan.
4. Pendapat Abu Muslim diatas ditangkis oleh para pendukung nakh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil Jika dipetakan terdapat dua pendapat yaitu yang berpendapat bahwa didalam quran ada Nasikh dan Mansukh dan pendapat yang kedua berpendapat bahwa tidak ada didalam quran ada Nasikh dan Mansukh. Pendapat yang pertama dipelopori oleh: (1) As-Sayafi’I (2)An-Nahhas (3) As-Suyuti (4) dan As-Syaukani. Adapun alasannya berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
[2.106] Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Selanjutnya dalam ayat lain dinyatakan:
[16.101] Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Adapun pendapat yang kedua yang menyatakan tidak ada nasikh mansukh dalam quran yang dipelopori oleh: (1) Abu Muslim Isfahani (2) Al-Fahrurazi (3) Rasyid Ridlo dan (4) Muhammad Abdul. Adapun alasannya sebagaimana firman Allah:
[18.27] Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al Qur'an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya.
Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merubah firman-firman Allah.
Imam Abu Muslim Al-Asfahani, seorang ahli tafsir yang bijak, berkata:

Tidak ada dalam Quran satu ayatpun yang dimansukhkan...(bersambung)

by. Rasyid Ridlo
edisi 131 2 april 2010
Read more...

Nasikh Mansukh 2


Kedudukan Naskh
Masalah Naskh bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari Ilmu tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karenanya, ia merupakan technicheterm dengan batasan pengertian yang sudah baku. Imam Al-Subki menerangkan bahwa ada perbedaan pendapat tentang kedudukan Naskh itu; apakah ia berfungsi sebagai pencabut (raf) ataukah berfungsi memberi penjelasan (bayan). Jika ditinjau dari segi formal, maka fungsi pencabutan itu lebih tampak. Tetapi apabila ditinjau dari segi materinya, terlihat adanya satu fungsi pokok, yaitu bahwa naskh itu merupakan salah satu interprestasi Hukum.


Pedoman Mengetahui Naskh dan Manfaatnya
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama Fuqoha, Mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak asar (perkataan sahabat dan atau tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: “Apakah kamu mengetahui yang Nasikh dari yang mansukh?” Tidak, “Jawab hakim itu”. Maka Ali berkata: “Celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”.
Dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. (al-Baqoroh:269). Yang dimaksud ialah nasikh mansukhnya, muhkam dan mutasabihnya, muqaddam dan Mu’akharnya, serta halal dan haramnya. Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti Hadits:
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (Hakim).
2. Kesepakaatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh 3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah
Naskh tidak dapat ditetapkan dalam Ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir nampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perowi.

Syarat-Syarat Nasakh
Adapun Syarat-syarat Nasakh sebagai berikut:
1. Yang dinasakh (mansukh) itu hukum syara yang bukan sesuatu yang dzatnya memang diwajibkan, seperti wajib iman kepada Allah, dan juga bukan sesuatu yang diharamkan karena dzatnya, seperti kufur. Karena kewajiban beriman kepada Allah dan larangan kufur itu tidak akan dinaskh. Juga pokok-pokok tauhid yang berhubungan dengan para Nabi yang terdahulu dan tentang akan terjadinya hari akhir dan yang berhubungan dengan hari akhir dan sebagainya. Semua naskh yang berhubungan dengan ini, sama sekali tidak bisa dinasakh.
2. Yang menghapus (Nasikh) harus dalil-dalil syara, kalau bukan dalil syara tidak dapat disebut nasakh. Yang bukan dalil syara tetapi dapat menghapus tuntunan hukum, misalnya mati. Akan tetapi mati tidak dapat disebut nasikh, sebab tidak ada adanya hukum terhadap orang yang sudah mati ini, dapat diketahui oleh akal tanpa petunjuk syara.
3. Mansukh itu tidak terikat oleh waktu yang tertentu, seperti terdapat dalam surat al-Baqoroh ayat 187 yang artinya: …..dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Makan dan Minum pada waktu malam hari puasa, hingga waktu fajar. Kalau sudah terbit fajar, makan dan minum tidak diperbolehkan lagi.
Meskipun kebolehan makan dan minum dihapus setelah siang hari bulan puasa, tetapi yang demikian tidak dapat disebut nasakh, sebab hukum yang pertama dengan sendirinya akan hilang, jika waktu yang tertentu telah habis.
4. Nasikh, harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama, jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak akan dapat menghapuskan yang kuat. Karena itu hadits mutawatir dapat menaskh (menghapus) hadits ahad, tetapi sebaliknya hadits ahad tidak dapat menasakh hadits mutawatir.
5. Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian dari mansukhnya, sebab kalau berturut-turut seperti, sifat dan istisna tentu bukan naskh, tetapi takhsis.

Hikmah Adanya Naskh
1. Memelihara Kepentingan Hamba
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4.Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan. Adanya Nasikh Mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat nuzulnya al-Quran itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Nuzulnya al-Quran tidak terjadi sekaligus, tetapi berangsur dalam rentang waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu al-Quran itu sendiri menjawab hanya bahwa penahapan itu adalah untuk pemantapan (Qs 25:32). Khusus dibidang hukum, Syaikh Al-Qasimi berkata:
“Sesungguhnya Al-Khaliq yang Maha suci lagi maha tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dengan proses tadaruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan belbagai sarana sosial. Hal ini disebabkan karena hukum-hukum itu mula-mula bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti oleh Allah dengan yang lain, sehingga bersifat Universal. Demikianlah Sunnah al Khaliq yang diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa secara sama. Jika engkau melayangkan pandanganmu kealam yang hidup ini, engkau pasti akan tahu bahwa Naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur, kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, selanjutnya menjadi remaja, orang dewasa, orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) adalah merupakan buktu nyata, bahwa dalam alam ini proses tersebut berjalan rutin. Dan kalau Naskh yang terjadi dialam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa adanya penghapusan dan proses penggantian hokum itu diingkari? Padahal itu merupakan proses pengembangan dan tadaruj dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Apakah seseorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana itu adalah langsung membebani bangsa arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mancapai kemajuan dan kesempurnaan kebudayaan yang tinggi? Dan kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan oleh seseorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin semacam itu akan dilakukan oleh Allah SWT. Yang maha menentukan hukum, yang memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhan dan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah mencapai jengjang kedewasaannya? Lalu manakah yang lebih baik, apakah syariat kita yang menurut sunnah Allah menentukan hukum-hukumnya sendiri, lalu Ia Nasakh mana yang Ia pandang perlu dengan Ilmu-Nya dan Ia sempurnakan hal-hal yang Ia pandang manusia tidak mampu melaksanakannya karena suatu factor yang manusiawi? Ataukah syari’at-syari’at agama lain yang diubah sendiri oleh pemimpin-pemimpinnya dan dihapus sebagian hokum-hukumnya sehingga lenyap sama sekali, yang kemudian menjadi amat sulit diamalkan karena tidak sesuai lagi dengan tuntunan hidup kemanusiaan dari pelbagai seginya?

by.Rasyid Ridlo
edisi 132 9 April 2010

Read more...