Al Quran menyebut sampai 72 kali dimana itau al-zakah bergandengan dengan iqamu al-shalah. Dalam berbagai penjelasan menerangkan bahwa itau al-Zakah itu adalah salah satu unsur dari kelima unsur bangunan keislaman.
Ada dua aspek didalam zakat yang mesti diperhatikan; yaitu pengeluaran (pembayaran zakat) dan penerimaan (pembagian zakat). Aspek pengeluaran didalam alquran dituliskan itau al-zakah, merupakan suatu dorongan yang kuat dari ajaran Islam, supaya umatnya berusaha keras untuk menjadi pembayar zakat dan bukan penerima.
Selanjutnya ajaran Islam mengakui kenyataan yang ada dalam pergaulan hidup masyarakat manusia bahwa diantara anggota masyarakat itu banyak juga yang tidak memiliki tanah, baik untuk tempat tinggal maupun untuk garapan sumber penghasilan, sementara yang lainnya tidak mempunyai mata pencaharian tetap dan yang lain lagi tidak mampu bekerja atau berusaha dikarenakan misalnya cacat badaniah atau sakit yang lainnya.
Ajaran Islam yang dijabarkan dalam Fiqh melihat ada tiga faktor yang menentukan miskin tidaknya seseorang; pertama, harta benda yang dimiliki secara sah dan berada di tempat. Kedua, mata pencaharian (pekerjaan) tetap yang dibenarkan oleh hukum. Ketiga, kecukupan akan kebutuhan hidup yang pokok. Pelaksanaan zakat pada awal sejarahnya ditangani sendiri oleh Rasulullah dengan mengirim para petugasnya untuk menarik zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai pembayar zakat, lalu dicatat, dikumpulkan, dirawat dan akhirnya dibagikan kepada para penerima zakat. Untuk melestarikan pelaksanaan seperti itu, Khalifah Abu Bakar terpaksa mengambil tindakan keras karena adanya pembangkangan-pembangkangan yang menolak menyerahkan zakatnya kepada para petugas yang dikirim oleh khalifah. Berkat ketegasan tindakannya, cara pelaksanaan zakat seperti semula dapat dipertahankan. Baru di zaman Khalifah Utsmanlah diadakan suatu kelonggaran dengan membebaskan para pembayar zakat untuk melaksanakan penyerahan zakat kepada para penerima zakat, yaitu dalam dua jenis zakat : zakat logam mulia (zakat al-naqdain) dan zakat perniagaan (zakat al-tijarah).
Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 60 Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Hal ini merupakan daftar penerima zakat yang lengkap. Namun tidak mutlak bahwa semua jenis atau kelompok itu tetap ada sepanjang masa. Menurut Imam Ibnu Shalah, ashnaf yang ada sekarang hanya empat, yaitu faqir, miskin, gharim dan Ibnu sabil, tetapi menurut Al-Qadhi Abu Hamid hanya dua, yaitu fakir dan miskin saja. Dalam hubungan ini, Syaikh Syarbini Al-Khattib mengomentari bahwa adanya perbedaan itu semoga saja bersangkutan dengan keadaan pada zamannya masing-masing.
Pemanfaatan dana zakat didalam perkebangan fiqh memberi petunjuk perlunya suatu kebijakan dan kecermatan, dimana perlu dipertimbangkan faktor-faktor pemerataan (al-tamim) dan penyamaan kebutuhan yang nyata dari kelompok-kelompok penerima zakat, kemampuan penggunaan dana zakat dari yang bersangkutan yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan dan kebebasan dari kemelaratan.
Sekarang ini fenomena dalam penggunaan zakat diperuntukan pembiayaan pembangunan mesjid dan bangunan kepentingan umum atau bangunan yang berstatus wakaf. Menurut Syaikh Syarbini bahwa sesungguhnya penafsiran sabilullah dengan al-ghuzah dikarenakan pemakaian kata-kata itu dalam pengertian jihad telah menjadi banyak, baik secara istilah maupun secara hokum dengan petunjuk firman Allah yang berukang kali. Maka, jika itu diucapkan secara mutlak, pengertian yang demikian itulah yang dimaksud, walaupun sabilullah itu menurut bahasa ialah jalan atau sarana yang mengubungkan atau menyampaikan kepada Allah, dan itu pengertian yang lebih umum
Pada dasarnya, zakat menjadi kewajiban didalam pemilik harta benda (kekayaan) yang berkembang, baik dengan sendirinya maupun dengan pengolahan, demi meningkatkan nilai moral pada pemiliknya dan sekaligus menjadi bantuan bagi mereka yang tidak berkecukupan atau mereka yang tidak berpunya, sehingga terjadi pemekaran dalam masyarakat dan bagi harta benda itu sendiri. Perlu pula dipertegas bahwa zakat bukanlah pemberian berupa belas kasihan, tetapi merupakan hak dari pihak-pihak tertentu yang bersangkutan langsung dengan harta kekayaan tersebut
Wallahualam Bissowab.
Amin
Senin, 07 Juni 2010
Prinsip Pengelolaan Zakat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar