Oleh H.Rasyid Ridlo, SE, M.Ag
Alqalam 26 Feb 2010, 11 Rabiul Awal 1431 H
Sesungguhnya Arab dianggap sebagai daerah tak bertuhan dan tak satupun agama pun lebih maju dan modern berhasil di daerah itu. Pada abad ke-4 ada sebuah gereja Syria, namun pada umumnya suku arab Badui di gurun Arabia sangat curiga pada Judaisme dan Kristenisasi, meskipun mereka menyadari bahwa agama-agama ini lebih canggih dibanding agama mereka. Mereka tahu bahwa Negara-negara besar seperti Persia dan Byzantium telah siap menggunakan agama mereka sebagai alat kontrol imperialisme.
Tahun 510 Yusuf As’ai, Raja Arab selatan, beralih ke Judaisme dan dikenal sebagai Dzu Nawas, He of The Hanging Loks.
Namun tawaran akan perlindungan Persia ini gagal ketika Kerajaan Yahudi itu jatuh ke Abyssinia ditahun 525; rajanya yang muda dan tampan dikatakan telah menunggangnya hilang ditelan ombak. Arab selatan menjadi propinsi Abyssinia dan rakyatnya terus menerus memohon pertolongan Persia. Akhirnya Raja Khusrua menyerbu wilayah itu tahun 570 dan kerajaan selatan menjadi koloni Persia. Ketika itu ajaran Kristen Neotorianiasme (yang percaya bahwa kristus memiliki dua sifat, manusia dan tuhan, yang juga disukai oleh Persia) menjadi agama resmi. Orang arab badui diwilayah hijaz dan Najd sangat bangga akan tetangga-tetangga Arab mereka diselatan dan melihat kejatuhan mereka sebagai sebuah malapetaka. Tak terhindarkan, judaisme dan kristenisasi menjadi sasaran kecurigaan.
Di Arab tengah dikelilingi berbagai bentuk penyimpangan Kristenitas; gereja Kristen majestic di Najran diselatan merupakan sumber kecemasan bagi suku badui, namun mereka menahan rasa tak percaya mereka pada system agama-agama ini dan memutuskan untuk tetap merdeka dari kekuatan besar itu. Pada sasat yang sama, terdapat rasa ketidakpuasan. Orang-orang arab merasa rendah diri, secara religius maupun politis. Sebelum berhasil menciptakan suatu Negara Badui bersatu dan membawa nasib mereka ke tangan mereka sendiri, mereka masih rapuh pada ancaman eksploitasi dan bahkan dapat kehilangan kemerdekaan mereka, seperti suku-suku di Arab selatan.
Di Arab barat biasa menyebut kelompok kecil “klan” dan kelompok besar “suku”. Orang Arab tidak membuat perbedaan itu dan menggunakan kata qaum (rakyat, warga, kaum) baik untuk kelompok besar maupun kecil. Untuk menghindari suku-suku menjadi terlalu besar dan tak terurus, kelompok-kelompok itu selalu melakukan rekonfigurasi. Untuk menanamkan semangat komunal ini bangsa arab mengembangkan ideologi yang disebut dengan muru’ah (kejantanan), namun sesungguhnya maknanya lebih komplek dan luas, Muru’ah berarti keberanian dalam berperang, kesabaran dan ketahan dalam penderitaan dan pengabdian pada tugas yang sopan untuk membalas kesalahan yang pernal dilakukan pada suku. Sebuah cara lain menjaga keseimbangan kekuatan adalah dengan ghazwu atau penyerbuan mendadak, yang merupakan penjajahan konstan dan hampir merupakan olah raga/kesenangan nasional (National sport). Dimasa-masa sulit, anggota suatu suku akan menyerbu wilayah suku musuh dengan harapan mendapatkan unta, ternak atau barang lain.
Memang brutal, namun muru’ah memiliki banyak kelebihan, dan beberapa diantaranya akan menjadi nilai-nilai yang penting dalam Islam. Tidak mengetahui adanya cara lain dalam oraganisasi masyarakat, Nabi Muhammad mengatur komunitas muslimnya berdasarkan tradisi kesukuan. Meskipun ada nilai individuallisme baru yang ditanamkan oleh Islam pada kaum Muslim, ide komunitas dan persaudaraan tetap dianggap penting. Juga penting dalam pandangan Muslim adalah kesetaraan, karena tak ada ruang bagi elit yang istimewa dalam sistem kesukuan. Tak ada aristokrasi maupun pewaris tahta. Kepala suku tidak memberikan posisinya pada anak lelakinya karena suku memerlukan orang terbaik, tak peduli keturunan siapa dia, Egalitarianime yang dalam dan kuat ini menjadi ciri semangat Islam dan membentuk institusi religius, politikus bahkan artistik dan kesusastraan Islam.
Bangsa Arab punya waktu sedikit waktu untuk agama, dengan makna konvensional. Mereka tak mampu menyokong para pendeta atau para dukun yang berkewajiban mengembangkan tradisi suku yang mitologis. Para penyair malah menyanyikan kejayaan suku, nilai Arab yang luhur dan mengabdikan dalam syair-syair mereka.
Kepenyairan merupakan keterampilan yang sangat penting, sangat dijunjung tinggi oleh bangsa arab. Karena buta huruf masih merajai semenanjung, para penyair akan menyampaikan syair-syair mereka dengan keras. Mereka merasa dikuasai oleh Jinni, salah atu peri yang dianggap menghantui daerah mereka dan sesungguhnya puisi tidak hanya dipandang sebagai supermanusia tetapi juga dipercayai memiliki nilai magis. Sumpah seorang penyair akan mengakibatkan musibah pada musuh. Perasaan dikalahkan oleh kekuatan musuh merupakan hal biasa dalam pengalaman inspiratif.
Namun bangsa Arab sebenarnya memiliki kehidupan spiritual yang sangat berarti bagi mereka. Berbagai tempat dianggap suci dan merupakan tempat kuil-kuil yang memiliki ritual kuno masing-masing, yang berpusat pada tuhan yang khusus. Yang paling penting dari semuanya adalah Ka’bah, yang terletak didekat sumber air keramat Zamzam di Mekkah. Kuil berbentuk kotak terbuat dari batu granit ini tampak sangat kuno dan mirip tempat suci lainnya yang sudah hancur. Tertanam disudut timurnya, batu Hitam keramat, yang mungkin sebuah meteorit yang meluncur dari luar angkasa, yang menghubungkan bumi dan langit. Pada masa itu Kabah secara resmi didedikasikan pada Tuhan Hubal, tuhan yang dibawa ke Arab dari kerajaan Nabatean yang kini disebut Yordania. Disekitar kabah ada daerah lingkaran tempat para peziarah berkumpul untuk melakukan upacara tawaf, yakni kegiatan tujuh kali mengelilingi kabah mengikuti arah matahari. Kuil ini juga dikitari 360 berhala atau gambar-gambar dan patung-patung tuhan, yang mungkin merupakan lambang berbagai suku yang datang ke tempat ini pada bulan tertentu. Sekitar mekah (pada radius 20 mil dari pusat kabah) adalah daerah keramat, dimana segala macam kekerasan dan perkelahian dilarang.
Pada abad ke-6 suku Arab mulai tidak puas dengan agama tua mereka. Dan selama fase terakhir era Jahiliah, terasa sesuatu yang menggaggu Arab. Sistem kesukuan dan pemujaan berhala telah dijalani oleh suku badui selama berabad-abad. Meskipun sebagian besar wilayah semenajung Arab berada diluar arus utama peradaban, bangsa arab mulai menyadari gagasan dan dorongan peradaban tersebut. Beberapa tampak telah mendengar ide relijius tentang kehidupan sesudah mati, misalnya yang membuat nasib abadi setiap individu merupakan nilai utama. Bagaimana hal ini sesuai dengan ide komunal kesukuan yang telah dianut begitu lama? Bangsa Arab yang telah mulai terlibat dalam perdagangan dengan negara-negara beradab membawa kisah-kisah yang mengesankan dan para penyair menggambarkan keajaiban Syiria dan Persia. Namun tampaknya bangsa Arab tidak pernah berharap pada kemegahan dan kekuasaan seperti itu. Sistem kesukuan membuat mereka sulit menyatukan sumber-sumber daya mereka yang kecil, dan menghadapi dunia sebagai orang-orang yang bersatu sulit mereka bayangkan. Suku-suku terperangkap dalam siklus perang dan balas dendam yang tak berakhir: satu pertumpahan darah disusul lainnya; keakraban pada individualisme dianggap merendahkan etos komunal.
Namun suku Arab yang merasa paling bingung (disorientasi) adalah mereka yang telah hidup mapan. Selama abad ke-6 satu suku arab beremigrasi dari daerah rawan di Arabia selatan ke Oase di Yasrib dan menetap di sana berdampingan dengan beberapa suku Yahudi. Mereka berhasil dalam pertania, namun menemukan bahwa sistem kesukuan tak dapat berjalan ketika bangsa arab tak lagi menjelajahi wilayah-wilayah yang luas namun hidup harus bersama orang lain secara berdekatan.
Menjelang abad ke-7 seluruh oase tampak berada dalam cengkraman siklus kekerasan dan peperangan yang kronis, Namun di Mekkah suku Quraish dimana Nabi Muhammad dilahirkan sekitar tahun 570, dan merupakan suku terkuat di arab, tengah mengalami kebingungan karena mereka juga menemukan bahwa idiologi lama ternyata tidak membekali mereka untuk hidup dikota.
Suku Quraisy telah menetap di Mekkah menjelang akhir abad ke-5. Leluhur mereka Qushai, saudara lelakinya Zuhrah dan paman mereka Taim, telah menetap di lembah Mekkah disebelah tempat peribadatan. Makhzum anak dari paman yang lain, beserta para sepupunya Jumah dan Sahm menetap disana bernama Qushai.
Yang Kemudian Qushai dikenal dengan dengan Quraisy dari Lembah.
Senin, 08 Maret 2010
JAHILIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar