Selasa, 13 April 2010

Nasikh Mansukh 2


Kedudukan Naskh
Masalah Naskh bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari Ilmu tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karenanya, ia merupakan technicheterm dengan batasan pengertian yang sudah baku. Imam Al-Subki menerangkan bahwa ada perbedaan pendapat tentang kedudukan Naskh itu; apakah ia berfungsi sebagai pencabut (raf) ataukah berfungsi memberi penjelasan (bayan). Jika ditinjau dari segi formal, maka fungsi pencabutan itu lebih tampak. Tetapi apabila ditinjau dari segi materinya, terlihat adanya satu fungsi pokok, yaitu bahwa naskh itu merupakan salah satu interprestasi Hukum.


Pedoman Mengetahui Naskh dan Manfaatnya
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama Fuqoha, Mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak asar (perkataan sahabat dan atau tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: “Apakah kamu mengetahui yang Nasikh dari yang mansukh?” Tidak, “Jawab hakim itu”. Maka Ali berkata: “Celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”.
Dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. (al-Baqoroh:269). Yang dimaksud ialah nasikh mansukhnya, muhkam dan mutasabihnya, muqaddam dan Mu’akharnya, serta halal dan haramnya. Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti Hadits:
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (Hakim).
2. Kesepakaatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh 3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah
Naskh tidak dapat ditetapkan dalam Ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir nampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perowi.

Syarat-Syarat Nasakh
Adapun Syarat-syarat Nasakh sebagai berikut:
1. Yang dinasakh (mansukh) itu hukum syara yang bukan sesuatu yang dzatnya memang diwajibkan, seperti wajib iman kepada Allah, dan juga bukan sesuatu yang diharamkan karena dzatnya, seperti kufur. Karena kewajiban beriman kepada Allah dan larangan kufur itu tidak akan dinaskh. Juga pokok-pokok tauhid yang berhubungan dengan para Nabi yang terdahulu dan tentang akan terjadinya hari akhir dan yang berhubungan dengan hari akhir dan sebagainya. Semua naskh yang berhubungan dengan ini, sama sekali tidak bisa dinasakh.
2. Yang menghapus (Nasikh) harus dalil-dalil syara, kalau bukan dalil syara tidak dapat disebut nasakh. Yang bukan dalil syara tetapi dapat menghapus tuntunan hukum, misalnya mati. Akan tetapi mati tidak dapat disebut nasikh, sebab tidak ada adanya hukum terhadap orang yang sudah mati ini, dapat diketahui oleh akal tanpa petunjuk syara.
3. Mansukh itu tidak terikat oleh waktu yang tertentu, seperti terdapat dalam surat al-Baqoroh ayat 187 yang artinya: …..dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Makan dan Minum pada waktu malam hari puasa, hingga waktu fajar. Kalau sudah terbit fajar, makan dan minum tidak diperbolehkan lagi.
Meskipun kebolehan makan dan minum dihapus setelah siang hari bulan puasa, tetapi yang demikian tidak dapat disebut nasakh, sebab hukum yang pertama dengan sendirinya akan hilang, jika waktu yang tertentu telah habis.
4. Nasikh, harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama, jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak akan dapat menghapuskan yang kuat. Karena itu hadits mutawatir dapat menaskh (menghapus) hadits ahad, tetapi sebaliknya hadits ahad tidak dapat menasakh hadits mutawatir.
5. Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian dari mansukhnya, sebab kalau berturut-turut seperti, sifat dan istisna tentu bukan naskh, tetapi takhsis.

Hikmah Adanya Naskh
1. Memelihara Kepentingan Hamba
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4.Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan. Adanya Nasikh Mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat nuzulnya al-Quran itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Nuzulnya al-Quran tidak terjadi sekaligus, tetapi berangsur dalam rentang waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu al-Quran itu sendiri menjawab hanya bahwa penahapan itu adalah untuk pemantapan (Qs 25:32). Khusus dibidang hukum, Syaikh Al-Qasimi berkata:
“Sesungguhnya Al-Khaliq yang Maha suci lagi maha tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dengan proses tadaruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan belbagai sarana sosial. Hal ini disebabkan karena hukum-hukum itu mula-mula bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti oleh Allah dengan yang lain, sehingga bersifat Universal. Demikianlah Sunnah al Khaliq yang diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa secara sama. Jika engkau melayangkan pandanganmu kealam yang hidup ini, engkau pasti akan tahu bahwa Naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur, kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, selanjutnya menjadi remaja, orang dewasa, orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) adalah merupakan buktu nyata, bahwa dalam alam ini proses tersebut berjalan rutin. Dan kalau Naskh yang terjadi dialam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa adanya penghapusan dan proses penggantian hokum itu diingkari? Padahal itu merupakan proses pengembangan dan tadaruj dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Apakah seseorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana itu adalah langsung membebani bangsa arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mancapai kemajuan dan kesempurnaan kebudayaan yang tinggi? Dan kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan oleh seseorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin semacam itu akan dilakukan oleh Allah SWT. Yang maha menentukan hukum, yang memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhan dan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah mencapai jengjang kedewasaannya? Lalu manakah yang lebih baik, apakah syariat kita yang menurut sunnah Allah menentukan hukum-hukumnya sendiri, lalu Ia Nasakh mana yang Ia pandang perlu dengan Ilmu-Nya dan Ia sempurnakan hal-hal yang Ia pandang manusia tidak mampu melaksanakannya karena suatu factor yang manusiawi? Ataukah syari’at-syari’at agama lain yang diubah sendiri oleh pemimpin-pemimpinnya dan dihapus sebagian hokum-hukumnya sehingga lenyap sama sekali, yang kemudian menjadi amat sulit diamalkan karena tidak sesuai lagi dengan tuntunan hidup kemanusiaan dari pelbagai seginya?

by.Rasyid Ridlo
edisi 132 9 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar