Selasa, 13 April 2010

Nasikh Mansukh


Alquran merupakan Hudallilmutaqin petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Didalamnya bukan hanya masalah Ibadah saja, tetapi mengatur masalah diantaranya seperti masalah muamalat (hubungan antar manusia) dalam berbagai kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu ada perintah, larangan, anjuran dan lain-lain. Ketika kita usia enam tahun kita dilarang main api karena berbahaya, namun ketika kita sudah berumur tujuh belas tahun, dianjurkan kita untuk berekperimen dengan api dalam sebuah labolatotium. Dalam hal ini sebuah larangan dan anjuran merupakan sebuah terminologi pendidikan didalam sebuah kehidupan.
Salah satu contoh al-Quran sebagai petunjuk, bagaimana tatacara menghadap ketika sholat, dalam Surat Al-Baqoroh Ayat 115 yang artinya. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.


Disisi lain kita membaca ayat yang selanjutnya ayat 144 yang artinya ... berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Dalam mensikapi dua ayat yang berbeda kita mesti menggunakan beberapa pendekatan misalnya unsur bahasa, system, dan teori interprestasi hukum. Adalagi yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur sejarah yang melatar belakangi terbentuknya suatu undang-undang. Itu yang dikenal dengan dengan sebutan interprestasi historis yang disebut dengan asbab al-nuzul.

Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dalam bukunya Manna khalil al-Qattan (1998) dikemukakan bahwa Naskh artinya menghilangkan/Izalah.
Kata naskh juga digunakan untuk makna memindahkan sesuatu ke tempat ke tempat lain. Misalnya , saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku.

Menurut istilah, yaitu; mengangkat (Menghapuskan) hukum syara dengan dalil hukum (Khitab) syara yang lain. Dengan perkataan hukum, maka tidak termasuk dalam pengertian naskh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (Al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan Khitab syara” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma atau qiyas.
Kata Nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan “Allah” seperti terlihat dalam (al-Baqoroh 2:106) dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris, atau hukum yang terkandung didalamnya, misalnya menghapuskan (naskh) hukum wasiat kepada orang tua atau kerabatnya (mansukh).
Ulama Mutaqodimin memberikan batasan pengertian naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian. Jadi tidak hanya bagi ketentuan (hukum) yang mencabut atau membatalkan ketentuan (hukum) yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan yang pertama yang dinyatakan berakhir masa berlakunya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus. Pengertian nasikh, menurut kelompok ini, mencakup pengertian pembatasan (qayd) terhadap pengertian bebas (muthlaq), pengertian penghususan (mukhosis) terhadap pengertian umum (amm), pengecualiaan (istisna), syarat dan sifat.
Sedangkan menurut ulama Muta’akhirin mempersempit batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan nasikh dengan mukhosis, muqoyid dan sebagainya. Dengan demikian, pengertian Nasikh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu. Sehingga ketentuan yang berlaku kini ialah ketentuan yang ditetapkan belakangan, menggantikan ketentuan terdahulu.

Pendapat-pendapat tentang Nasakh
1. Orang yahudi. Mereka tidak mengakui adanya nasakh. Karena menurutnya, nasakh menurutnya, nasakh mengandung konsep al-bada (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah. Nasakh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan inipun mustahil pula bagi-Nya.
2. Pendapat Ibnu Katsir dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-keketapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukan kemustahilan adanya Naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hokum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkan-Nya. 3. Abu Muslim al-Asfahani . Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Quran berdasarkan firman Allah-Nya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” : [41.42], dengan pengertian bahwa hukum-hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya ditakhsiskan.
4. Pendapat Abu Muslim diatas ditangkis oleh para pendukung nakh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil Jika dipetakan terdapat dua pendapat yaitu yang berpendapat bahwa didalam quran ada Nasikh dan Mansukh dan pendapat yang kedua berpendapat bahwa tidak ada didalam quran ada Nasikh dan Mansukh. Pendapat yang pertama dipelopori oleh: (1) As-Sayafi’I (2)An-Nahhas (3) As-Suyuti (4) dan As-Syaukani. Adapun alasannya berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
[2.106] Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Selanjutnya dalam ayat lain dinyatakan:
[16.101] Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Adapun pendapat yang kedua yang menyatakan tidak ada nasikh mansukh dalam quran yang dipelopori oleh: (1) Abu Muslim Isfahani (2) Al-Fahrurazi (3) Rasyid Ridlo dan (4) Muhammad Abdul. Adapun alasannya sebagaimana firman Allah:
[18.27] Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al Qur'an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya.
Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merubah firman-firman Allah.
Imam Abu Muslim Al-Asfahani, seorang ahli tafsir yang bijak, berkata:

Tidak ada dalam Quran satu ayatpun yang dimansukhkan...(bersambung)

by. Rasyid Ridlo
edisi 131 2 april 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar